Review

Tinjauan Evaluatif atas Penilaian Portofolio sebagai Alat Uji Kompetensi

Potret pendidikan di Indonesia senantiasa menghasilkan gambaran buram yang senantiasa menarik untuk didiskusikan—termasuk untuk dikritik dan dihujat. Mulai dari kualitas pendidikan yang tidak juga membaik sejak Indonesia merdeka, pemerataan mutu dan kesempatan memperoleh pendidikan yang belum berkeadilan, biaya pendidikan yang mahal, pro kontra ujian nasional, kasus kenakalan remaja usia sekolah, hingga penganiayaan ataupun pelecehan seksual oleh oknum guru atau kepala sekolah kepada siswanya. Permasalahan yang disebut di atas sebenarnya hanya merupakan “sekantong sampah” dari “sekeranjang sampah” yang penuh dengan masalah-masalah pendidikan. Bahkan pendidikan kita boleh dibilang lebih dari sekedar pendidikan berbasis masalah (problem based education), tapi lebih tepat dikatakan sebagai pendidikan penghasil masalah (problem maker eduacation).
Isu mutakhir yang masih layak untuk didiskusikan adalah fenomena sertifikasi guru. Genderang perang sertifikasi guru ini mulai ditabuh sejak akhir 2006, sebagai bulan pencanangan dari program sertifikasi bagi tenaga kependidikan tersebut. Tanda-tanda munculnya “perang” ini sebenarnya telah terlihat jauh hari, ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003[1] tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menggantikan pendahulunya yang sudah dianggap kadaluarsa dalam menghadapi tantangan jaman. Dalam pasal 39 pasal 1 dinyatakan “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pendidik pada perguruan tinggi.” Kata kunci yang perlu digarisbawahi—dan kalau perlu distabilo—adalah pengakuan bahwa guru sebagai pendidik merupakan “tenaga profesional.” Maka otomatis, mereka yang bercita-cita menjadi guru harus memiliki prasyarat keprofesionalitasan, adapun mereka yang sudah terlanjur menjadi guru—baik karena panggilan jiwa maupun terpaksa karena tidak ada alternatif profesi lain—harus bisa menunjukkan dan membuktikan diri bahwa mereka memiliki semua kualifikasi dan kompetensi yang bisa dijadikan bukti bahwa mereka adalah guru profesional.
Pengakuan bahwa profesi guru merupakan pekerjaan profesional—sebagaimana pekerjaan seorang dokter, lawyer, pilot, dan bukan sembarang orang bisa menjadi guru—kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005[2] tentang Guru dan Dosen. Penegasan ini tersurat dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan “Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Keberadaan Undang-Undang Guru dan Dosen ini merupakan keharusan sebagai dasar legitimasi tentang status guru yang selama ini dipandang sebelah mata—bahkan terkadang tidak dipandang oleh satu mata pun—sebagai pekerjaan yang inferior. Setidaknya terdapat empat jaminan kepastian kepada guru melalui undang-undang tersebut. Pertama, kepastian jaminan kesejahteraan, hal ini mengingat bahwa untuk membentuk tenaga yang profesional diperlukan jaminan kelayakan hidup yang memadai. Bagaimanapun juga guru adalah manusia yang harus menghidupi keluarga dan dirinya sendiri. Kepastian dan kemapanan kehidupan keluarga secara finansial memiliki signifikansi dalam menumbuhkan ketenangan, konsentrasi, dan dedikasi dalam bekerja. Kedua, kepastian jaminan sosial, termasuk di dalamnya asuransi kesehatan bagi dirinya dan keluarganya, serta status sosial di masyarakat. Ketiga, kepastian jaminan keselamatan, terutama keselamatan jiwa dan raga bagi mereka yang bertugas di daerah konflik ataupun dalam perjalanan tugas dinas. Hal ini mengingat bahwa belum adanya jaminan hukum bagi mereka apabila jiwa dan raganya terenggut ketika melaksanakan tugas (kill in action). Ini tentunya berbeda bagi profesi seperti kepolisian dan tentara yang mendapat jaminan hukum bagi dirinya dan keluarga. Keempat, kepastian jaminan hak dan kewajiban. Sudah selayaknya bahwa sebagai profesi memperoleh jugdement dan legitimasi keprofesiannya, terutama akan hak dan kewajibannya. Kewajiban guru merujuk segala apa yang harus dilakukan oleh guru, di sini termasuk tugas pengetahuan dan kemampuan profesioanl, personal, dan sosial. Sedangkan hak, merujuk pada apa yang seharusnya didapatkan dari apa yang telah dilakukan (kewajiban). Sehingga antara hak dak kewajiban harus sinergis, seimbang dan konstruktif.[3]
Permasalahan yang kemudian muncul, apakah guru sudah benar-benar profesional? Sebagaimana pengakuan yang telah diberikan kepadanya. Pada titik inilah “genderang perang” benar-benar harus ditabuh dengan kencang. Keluarnya berbagai undang-undang dan peraturan yang mengakui guru sebagai pekerjaan profesional hanyalah tanda akan meletusnya “perang” ini. Perang sesungguhnya adalah pembuktian diri guru bahwa dirinya adalah tenaga profesional yang memenuhi segala kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan.
Pada dasarnya pembuktian diri bisa dilakukan dengan segala cara, yang terpenting adalah guru menunjukkan performancenya yang benar-benar dapat mencerminkan diri sebagai tenaga profesional. Indikator utama keprofesionalitasan guru ini sebenarnya terwujud dalam meningkatnya mutu pendidikan nasional di negeri ini. Mutu pendidikan nasional diindikasikan dari tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dengan kata lain bila seluruh bangsa Indonesia telah cerdas berarti terbukti sudah bahwa guru memang pekerjaan yang profesional. Pertanyaannya adalah, kapan indikator ini bisa terwujud?
Indikator utama ini agaknya masih cukup sulit diwujudkan—untuk tidak mengatakan tidak bisa diwujudkan dan terkesan utopis—dalam waktu yang relatif singkat. Maka diperlukan alternatif lain yang lebih instant dan cepat dalam “mengukur” dan “mengevaluasi” keprofesionalitasan guru. Solusi yang ditawarkan oleh Undang-Undang Guru dan Dosen, sebagaimana redaksional pasal 2 ayat (2) adalah “Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.”[4]
Dari sinilah permasalahan berpangkal, karena guru yang profesional dibuktikan dengan kepemilikan atas sertifikat pendidik, maka diperlukan proses sertifikasi agar guru mendapatkan apa yang dipersyaratkan. Ibarat pengemudi yang harus mendapatkan driving license agar boleh mengemudikan kendaraan di jalan umum, maka guru juga memiliki “teaching license” agar bisa mengadakan pembelajaran di sekolah. Logikanya, hal ini sah-sah saja dilakukan untuk menjamin mutu pendidik. Permasalahannya adalah, ibarat pengemudi yang bisa mendapatkan driving license dengan mudah tanpa tes apapun setelah menyerahkan sejumlah rupiah tertentu, maka realitas ini bisa juga terjadi dalam sertifikasi guru. Permasalahan tambahan adalah apakah sertfikasi ini telah “mengukur apa yang seharusnya diukur.”
Dalam tulisan ini, penulis bermaksud mengulas berbagai seluk-beluk sertifikasi pendidik—dalam hal ini dikhususkan pada guru saja. Sistematika tulisan ini ini akan diawali melalui berbagai tinjauan terhadap segala masalah yang terkait dengan sertifikasi, terutama ditinjau dari aspek yuridis dan teoritis vis-à-vis kenyataan di lapangan. Tinjauan semacam ini akan dipaparkan dalam bab pertama. Bab kedua merupakan analisis penulis terhadap “validitas” sertifikasi ditinjau dari kesesuaian antara pelaksanaan sertifikasi vis-à-vis prinsip-prinsip evaluasi. Pada bagian akhir tulisan ini, akan ditutup dengan ulasan pandangan dan sikap penulis terhadap keberadaan sertifikasi guru. Bagian terakhir ini akan dipaparkan dalam bab ketiga tentang ulasan penulis, yang bisa juga dikategorikan sebagai kesimpulan dari keseluruhan tulisan ini.
B.     Sertifikasi Guru: Tinjauan Yuridis dan Teoritis
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional[5] pasal 42 ayat (1) bahwa “Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.” Dari penjelasan atas undang-undang mengenai pasal tersebut tidak ada penjelasan tambahan mengenai aturan ini, tetapi sudah dianggap “cukup jelas.” Pembuat undang-undang agaknya sangat yakin, bahwa semua pihak—termasuk pendidik—memahami redaksional aturan ini. Namun, bukan tidak mungkin terdapat pihak—terutama pendidik—yang tidak memahami secara keseluruhan maksud undang-undang ini ketika pertama kali diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia. Hal ini terkait dimuatnya istilah baru dalam dunia pendidikan di negeri ini, yaitu “sertifikasi.”
Istilah sertifikasi dikepala orang awam negeri ini, mungkin langsung akan dikaitkan dengan sertifikat tanah dan sertifikat rumah. Maklum, belum pernah ada sejarah sertifikasi pendidik dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, sertifikasi pendidik telah sejak lama diterapkan. Tepatnya semenjak kemuculan laporan yang menggemparkan dunia pendidikan Amerika Serikat, “A Nation at Risk: The Imperative for Education Reform” (1983) dan “A Nation Prepared: Teachers for the 21st Century”, yang menggulirkan reformasi pendidikan di Amerika Serikat dan dikembangkannya standarisasi dan sertifikasi profesi guru, serta dibentuknya National Board for Professional Teaching Standards (NBPTS) pada 1987.[6] Di Indonesia, baru mengikuti jejak ini lebih dari satu dekade berikutnya.
1.      Pengertian Sertifikasi
Istilah sertifikasi dapat diartikan sebagai surat keterangan (sertifikat) dari lembaga berwenang yang diberikan kepada profesi, dan sekaligus sebagai pernyataan (lisensi) terhadap kelayakan profesi untuk melaksanakan tugas.[7] Sertifikasi pada dasarnya mengacu pada sebuah proses pemberian pengakuan terhadap suatu profesi tertentu sebagai bukti kelayakan yang bersangkutan untuk melakukan praktik profesinya. Bagi pendidik, maka sertifikasi merupakan pengakuan terhadap profesi pendidik sekaligus pemberian ijin untuk melaksanakan praktik mendidik. Menurut definisi National Commission on Educational Services (NCES),[8]certification is a procedure whereby the states evaluates and reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to teach. Dalam hal ini, sertifikasi diartikan sebagai prosedur untuk menentukan apakah seorang calon guru layak diberikan ijin dan kewenangan untuk mengajar.
Secara yuridis, sertifikasi adalah “proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.”[9] Sertifikat pendidik itu sendiri merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.[10] Sertifikasi pendidik hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yakni memiliki kualifikasi pendidikan minimal dan mempunyai kompetensi yang diharapkan. Maka, sertifikasi guru adalah proses untuk memberikan sertifikat kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi dan standar kompetensi.[11]
Dasar hukum tentang perlunya sertifikasi guru dinyatakan dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan nasional.[12] Muncul pertanyaan sekarang, apakah sertifikat pendidik itu? Mengenai apa itu sertifikat pendidik dapat kita temukan dalam pasal 1 ayat (12), bahwa sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.[13] Secara khusus sertifikat pendidik merupakan bukti formal dari pemenuhan dua syarat, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sertifikat pendidik, adalah surat keterangan yang diberikan suatu lembaga tenaga kependidikan yang terakreditasi sebagai bukti formal kelayakan profesi guru, yaitu memenuhi kualifikasi pendidikan minimum dan menguasai kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran.[14]
Memang harus diakui, bahwa sertifikasi guru dalam dunia pendidikan kita adalah hal yang masih sangat baru. Tetapi istilah sertifikasi sendiri sudah sering kita dengar, semisal untuk menyatakan kelayakan produk hasil suatu perusahaan yang dikenal dengan istilah sertifikasi produk atau ISO, terlebih untuk urusan sertifikat tanah dan rumah sudah jamak dikenal oleh masyarakat luas. Namun, pada negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura sertifikasi guru bukanlah hal yang baru. Seperti halnya sertifikasi guru di negara-negara maju tersebut, di Singapura dilakukan dengan tujuan untuk dua hal. Pertama, untuk memperoleh penghargaan guru yang bagus atau guru yang efektif sehingga memperoleh kenaikan gaji, melalui jalur threshold. Kedua, untuk pengembangan diri guru sebagai pengajar profesional tanpa dibebani tugas-tugas manajemen yang dilakukan melalui jalur sertifikasi lanjutan yang dikenal dengan the advanced skills teacher.[15]
2.      Tujuan dan Sasaran Sertifikasi
Keberadaan sertifikasi guru pada dasarnya sebagai penjaminan mutu kualitas pendidikan di Indonesia dari segi tenaga pendidikan. Tujuan akhirnya otomatis adalah peningkatan mutu pendidikan Indonesia agar semakin berkualitas. Setidaknya ada beberapa tujuan dari pelaksanaan sertifikasi guru di Indonesia, yakni (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan; (3) meningkatkan martabat guru; dan (4) meningkatkan profesionalitas guru.[16]
Adapun menurut Mungin Eddy Wibowo,[17] sertifikasi bertujuan untuk hal-hal sebagai berikut: (1) melindungi profesi pendidik dan tenaga kependidikan; (2) melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten, sehingga merusak citra pendidik dan tenaga kependidikan; (3) membantu dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan, dengan menyediakan rambu-rambu dan instrumen untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang kompeten; (4) membangun citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan; (5) memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan.
Sertifikasi guru merupakan keniscayaan masa depan untuk meningkatkan kualitas dan martabat guru, menjawab arus globalisasi dan menyiasati sistem desentralisasi. Sehingga sertifikasi guru ini diharapkan memberi manfaat berikut: (1) melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten; (2) melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualifikasi dan tidak profesional; dan (3) menjaga lembaga penyelenggara pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dari keinginan internal dan tekanan ekternal yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.[18]
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah guru yana mana yang berhak melakukan sertifikasi? Idealnya, menurut Trianto & Tutik,[19] ada dua sasaran yang menjadi tujuan dalam proses sertifikasi. Pertama, mereka para lulusan sarjana pendidikan maupun non kependidikan yang menginginkan guru sebagai pilihan profesinya (prajabatan). Kedua, para guru dalam jabatannya. Dengan demikian pada dasarnya sertifikasi guru ada dua jalur, yakni sertifikasi guru prajabatan dan sertifikasi guru dalam jabatan. Guru prajabatan adalah lulusan S1 atau D4 LPTK ataupun non-LPTK yang berminat dan ingin menjadi guru, dimana mereka belum mengajar pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat. Guru dalam jabatan adalah guru PNS dan non-PNS yang sudah mengajar pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat, dan sudah mempunyai perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
 Namun untuk sementara ini yang dilayani dan dijadikan prioritas utama program sertifikasi adalah pihak guru dalam jabatan. Kondisi ini kiranya bisa dimaklumi karena akan lebih melindungi para guru yang telah sekian lama mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Alasan yang paling sederhana adalah karena payung hukum yang telah diputuskan sementara ini memang masih ditujukan untuk guru dalam jabatan saja, yakni melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 18 tahun 2007. Berdasarkan kenyataan ini, maka yang dijadikan ulasan utama tulisan ini adalah mengenai program sertifikasi guru dalam jabatan.
3.      Mekanisme Sertifikasi
Pelaksanaan sertifikasi guru, menurut Kunandar[20] harus dilaksanakan dengan mengedepankan enam prinsip. Pertama, dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Objektif yaitu mengacu pada proses perolehan sertifikat pendidik yang tidak diskriminatif dan memenuhi standar pendidikan nasional. Transparan yaitu mengacu kepada proses sertifikasi yang memberikan peluang kepada pemangku kepentingan pendidikan untuk memperoleh akses informasi tentang tentang pengelolaan pendidikan, yang sebagai suatu sistem meliputi masukan, proses, dan hasil sertifikasi. Akuntabel merupakan proses sertifikasi yang dipertanggung-jawabkan kepada pemangku kepentingan pendidikan secara administratif, finansial, dan akademik. Kedua, berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu guru dan kesejahteraan guru. Guru yang telah lulus uji sertifikasi guru akan diberikan tunjangan profesi sebesar saru kali gaji pokok sebagai upaya peningkatan kesejahteraan guru. Ketiga, dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, dilaksanakan secara terencana dan sistematis. Kelima, menghargai pengalaman kerja guru. Pengalaman di samping lamanya guru mengajar, juga termasuk pendidikan dan latihan yang pernah diikuti, karya yang pernah dihasilkan, dan aktivitas lain yang menunjang profesionalitas guru. Keenam, jumlah peserta sertifikasi guru ditetapkan oleh pemerintah, demi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan serta penjaminan kualitas hasil sertifikasi.
a)      Tahap seleksi penetapan peserta
Guru yang berhak mengikuti sertifikasi adalah semua guru—baik PNS maupun non-PNS, asalkan berstatus sebagai guru tetap pada satuan pendidikan tempat yang bersangkutan bertugas—yang telah memenuhi persyaratan utama, yakni memiliki ijasah akademik atau kualifikasi pendidikan minimal sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV).[21] Proses sertifikasi memiliki mekanisme proses yang cukup panjang dan bertahap. Pertama, guru yang memenuhi kriteria kualifikasi bisa mendaftarkan diri sebagai calon peserta sertifikasi ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk dimasukkan dalam daftar calon peserta sertifikasi. Dinas Pendidikan setempat menyusun daftar panjang guru yang memenuhi persyaratan sertifikasi. Kedua, tahap ini ditandai dengan pemberian ranking calon peserta kualifikasi oleh Dinas Pendidikan setempat, dengan urutan kriteria masa kerja, usia, golongan (bagi PNS), beban mengajar, tugas tambahan, dan prestasi kerja. Tahap ketiga adalah penetapan peserta sertifikasi oleh Dinas Pendidikan setempat sesuai dengan kuota dari Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan mengemumkan daftar peserta sertifikasi tersebut kepada forum-forum atau papan pengumuman di Dinas Pendidikan setempat.[22]
Tahapan di atas, masih berupa seleksi calon peserta yang berhak mengikuti sertifikasi. Seleksinya pun masih menggunakan sistem ranking berdasarkan kriteria tertentu dan bukan melalui seleksi tes. Kriteria masa kerja dihitung sejak guru yang bersangkutan diangkat menjadi PNS sebagai guru, hingga yang bersangkutan dinominasikan sebagai peserta sertifikasi. Bagi guru PNS yang sebelumnya pernah menjadi guru tetap yayasan (non-PNS), masa kerja sebagai guru yayasan ikut diperhitungkan. Bagi guru non-PNS, masa kerja dihitung sejak yang bersangkutan pertama kali diangkat dan bertugas menjadi guru pada suatu satuan pendidikan. Kriteria usia, yang dihitung adalah usia kronologis. Kriteria pangkat/golongan, adalah pangkat/golongan bagi guru yang berstatus PNS. Kriteria beban mengajar, dihitung berdasarkan jumlah jam mengajar perminggu, yakni minimal 24 jam tatap muka. Kriteria tugas tambahan/jabatan, adalah jabatan atau tugas tambahan yang disandang, seperti jabatan Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan lain-lain. Kriteria prestasi kerja adalah prestasi kerja seperti guru teladan (berprestasi), disiplin, dedikasi dan loyalitas, pembimbingan teman sejawat, pembimbingan siswa, hingga penghargaan apapun dari berbagai tingkat.[23]
b)      Tahap sertifikasi
Penyelenggara sertifikasi sesungguhnya adalah perguruan tinggi yang memiliki program tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.[24] Maka, Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten yang telah mengadakan seleksi peserta, melimpahkan wewenang sertifikasi guru pada perguruan tinggi yang ditunjuk. Berikutnya, proses sertifikasi akan dilakukan oleh penyelenggara sertifikasi melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik.[25] Namun uniknya, uji kompetensi untuk sertifikasi guru dalam jabatan dilakukan justru hanya melalui penilaian portofolio.[26] Portofolio tersebut dianggap sebagai pengakuan atas pengalaman profesional guru yang terdokumentasi dalam berbagai dokumen yang dapat mendeskripsikan 10 hal, yakni kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, serta penghargaan yang relevan dalam dunia pendidikan.[27]
Guru yang semua dokumen portofolionya memenuhi persyaratan dan memiliki skor minimal 850 (57% dari skor maksimal), berhak dinyatakan lulus sertifikasi yang ditandai dengan pemberian sertifikat pendidik. Adapun bagi guru yang gagal dalam penilaian portofolio karena tidak mencapai skor minimal masih berpeluang lulus dengan persyaratan. Pertama, dengan melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka melengkapi dokumen portofolio agar mencapai angka lulus. Kedua, mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan ujian yang mencakup kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.[28] Aturan-aturan ini agaknya sudah dikemas sedemikian rupa agar lebih memudahkan guru untuk dapat lulus sertifikasi, sebagaimana terlihat juga kemudahan bagi guru yang tidak lulus pendidikan dan pelatihan profesi masih diberi kesempatan untuk mengulang materi pendidikan dan pelatihan yang belum lulus.[29]
Bagi guru yang lulus sertifikasi, harapan akan kesejahteraan yang lebih baik mungkin sudah “di atas kertas.” Karena pemerintah wajib memberikan tunjangan profesi setara satu kali gaji pokok guru yang bersangkutan,[30] yang dibayarkan pada bulan Januari tahun berikutnya setelah guru tersebut dinyatakan lulus sertifikasi.[31] Demikianlah fenomena pelaksanaan sertifikasi guru di Indoensia, ditinjau dari sudut yuridis dan teoritis. Pada bagian berikut penulis akan coba memaparkan berbagai kenyataan di lapangan terkait dengan pelaksanaan sertifikasi guru.
C.    Sertifikasi Guru: Tinjauan Realitas
Program sertifikasi guru pada dasarnya memberikan harapan yang tinggi, bahwa para guru yang benar-benar memenuhi persyaratan akan dapat lulus sertifikasi. Mereka yang lulus adalah mereka yang benar-benar dikategorikan sebagai pendidik profesional. Sehingga diharapkan mutu pendidikan di Indonesia meningkat karena memiliki tenaga pendidik yang baik. Namun, dalam realitasnya ditemukan kesenjangan antara harapan dengan kenyataan dalam program sertifikasi di lapangan. Permasalahan ini secara kasat mata, sebagian besar diakibatkan oleh faktor “oknum guru” yang menghalalkan segala cara untuk lulus sertifikasi. Sebagian lagi memiliki masalah berupa implikasi yang kontra produktif terhadap apa yang diharapkan. Kalau kita mau jujur, segala permasalahan ini sebenarnya ditimbulkan oleh konsep pemberian sertifikasi guru yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi yang baik dan benar. Dengan kata lain, sertifikasi yang selama ini digulirkan masih belum “mengukur apa yang seharusnya diukur,” atau minimal sudah mengukur apa yang seharusnya diukur namun menggunakan alat ukur yang salah, ibarat mengukur bobot dengan penggaris.
Berikut merupakan sekelumit permasalahan di lapangan yang timbul dari diadakannya program sertifikasi guru dalam jabatan.
1.      Pemalsuan ijazah sebagai syarat kelengkapan kualifikasi akademik
Sertifikasi guru mempersyaratkan agar mereka yang dapat disertifikasi adalah guru yang memiliki kualifikasi akademik minimal S1 atau D-IV. Agaknya, syarat ini sangat berat untuk dipenuhi oleh beberapa guru di Indonesia meskipun syarat ini sebenarnya sudah merupakan keharusan dan kewajaran. Keberatan sebagian guru yang tidak memenuhi kualifikasi akademik mencerminkan kenyataan bahwa banyak guru yang belum memiliki kualifikasi minimal. Sumber Balitbang tahun 2004, sebagaimana disajikan oleh Trianto & Tutik[32] berikut ini menggambarkan kondisi kualifikasi akademik guru di Indonesia:
Tabel I
Kualifikasi Guru Menurut Ijazah Tertinggi Tahun 2003/2004
No
Pendidikan
Jumlah Guru
Ijazah Tertinggi (dalam %)
<D1
D2
D3
S1/D-IV
S2/S3
1
TK
137.069
90,57
5,55
-
3,88
-
2
SLB
8.304
47,58
-
5,62
46,35
0,45
3
SD
1.243.927
49,33
40,14
2,17
8,30
0,05
4
SMP
466.748
11,23
21,33
25,10
42,03
0,31
5
SMA
230.114
1,10
1,89
23,92
72,75
0,33
6
SMK
147.559
3,54
1,79
30,18
64,16
0,33

Data di atas meski menyajikan kondisi tahun 2003/2004, penulis merasa yakin kondisi saat ini masih tidak jauh berbeda. Melihat kenyataan ini otomatis masih banyak guru yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi akademik untuk dapat ikut sertifikasi. Para guru yang jujur dan benar-benar ingin meningkatkan mutu diri pasti akan segera sadar dan mengikuti program perkuliahan penyetaraan agar dapat memenuhi syarat. Tetapi guru yang malas dan ingin cepat lulus sertifikasi akan melakukan segala cara untuk dapat memiliki ijazah sarjana, meski dengan cara memalsu atau membeli ijazah asli tapi palsu. Kenyataan ini bukan fitnah, telah banyak pihak penyelenggara sertifikasi yang melaporkan kecurangan oknum peserta karena melakukan pemalsuan ijazah, dan bahkan hingga ditangani oleh pihak kepolisian.[33]
2.      Pemalsuan karya ilmiah
Kenyataan di lapangan ternyata tidak hanya ijazah yang ditemukan palsu, tapi ternyata banyak karya ilmiah sebagai persyaratan kelengakan portofolio juga ditemukan palsu. Dilaporkan bahwa Universitas Negeri penyelenggara sertifikasi di Jawa Timur telah melakukan penyelidikan terhadap empat orang guru yang diduga melakukan pemalsuan karya ilmiah. Menurut pengakuan guru yang memalsukan karya ilmiah tersebut, mereka memesannya dari rental komputer. Hal yang sama ternyata juga ditemukan di salah satu universitas di Sulawesi.[34] Badan Penyelenggara Sertifikasi Guru (BPSG) Rayon 15 Universitas Negeri Malang (UM), sebagai penyelenggara sertifikasi menemukan ratusan dari sekitar 12.000 lebih portofolio yang dipastikan palsu, diantaranya pemalsuan hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK).[35]
3.      Pemalsuan sertifikat dan piagam
Kalau saja ijazah dan karya ilmiah bisa dipalsukan, tentu untuk memalsukan sertifikat dan piagam penghargaan dapat dilakukan lebih mudah lagi. Abdul Sidiq Notonegoro, dosen Universitas Muhammadiyah Gresik memperingatkan untuk mewaspadai munculnya berbagai sertifikat atau piagam kegiatan, tetapi sesungguhnya kegiatan tersebut “tidak ada” atau guru yang bersangkutan tidak mengikutinya. Dengan kata lain, sertifikat/piagam tersebut “asli tapi palsu” (aspal). Sang guru tersebut hanya meminjam sertifikat/piagam orang lain yang kemudian nama orang tersebut dihapus dan diganti dengan namanya sendiri.[36] Celakanya, ada kecurangan yang terbongkar akibat “ketidakprofesional” guru dalam memalsukan berkas, karena ditemukannya berkas asli yang dipalsukan dengan foto pemalsu yang masih ditempelkan di berkas asli dan siap difotokopi, tapi ikut terjilid bersama berkas lain dan ikut dikumpulkan.[37]
4.      Penyuapan ke asesor sertifikasi
Rasa percaya diri guru untuk dapat lulus sertifikasi pun masih rendah, meski segala dokumen telah memenuhi persyaratan. Akibatnya mereka mencoba melakukan praktik penyuapan dengan cara menyelipkan sejumlah uang dalam berkas portofolio, agar para asesor meluluskan mereka.[38] Tindakan ini dilakukan guru yang mungkin terdorong oleh kondisi bahwa hal tersebut merupakan kelaziman yang mereka lakukan ketika berhubungan dengan dinas pendidikan setempat. Ataupun berdasarkan pengalaman mereka dalam mengurus SIM (Surat Ijin Mengemudi) yang akan lebih mudah dengan menyetorkan sejumlah uang kepada pihak tertentu, sehingga mereka pun berasumsi mengurus “SIM” (Surat Ijin Mengajar) juga dipermudah bila melakukan hal yang sama. Apapun alasannya praktik penyuapan ini tidak bisa dibenarkan.
5.      Munculnya konflik horizontal
Ketimpangan lain dari pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan adalah implikasinya yang luar biasa dalam relasi sosial guru dalam kehidupan sehari-hari. Karena sertifikasi guru akan berpotensi menimbulkan konflik horisontal antar guru di sekolah. Sebab guru akan terpecah menjadi dua, yaitu guru yang sudah mendapatkan sertifikat akan memperoleh tunjangan profesi, sementara sebagian lain belum. Padahal kewajiban guru untuk melaksanakan proses pembelajaran adalah sama.[39] Budhi Samantha,[40] pemerhati pendidikan di Klaten, memberi komentar atas dampak sertifikasi guru, “Tidak saja menimbulkan kecemburuan sosial, namun juga mengakibatkan penurunan kinerja sejumlah guru sekolah.” Namun dampak ini belum akan muncul selama pemerintah belum memberikan tunjangan profesi.
6.      Tersendatnya tunjangan profesi guru
Bukan lagi rahasia umum kalau salah satu pendorong semangat guru agar dapat lulus sertifikasi adalah janji pemerintah yang akan memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang lulus sertifikasi.[41] Namun, dalam kenyataannya sampai makalah ini ditulis belum semua guru yang lulus sertifikasi telah memperoleh tunjangan profesi. Berdasarkan wawancara penulis dengan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Bapak Mispono,[42] diperoleh data bahwa guru-guru yang telah lulus sertifikasi di wilayah setempat masih belum menerima tunjangan profesi sepeser pun. Meski demikian surat keputusan (SK) penetapan besaran tunjangan profesi telah diberikan kepada guru yang telah lulus. “Bulan depan mungkin sudah turun,” janji Kacabdin Bangil tersebut.
Kondisi ini juga dihadapi oleh Elvira Badar,[43] seorang guru Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Turen, Kabupaten Malang. Ia mengungkapkan bahwa dirinya telah lulus sertifikasi sejak 29 Desember 2007, setelah melalui pendidikan dan latihan karena gagal dalam penilaian portofolio. Hal yang Elvira syukuri adalah bisa lulus sertifikasi, tetapi yang disesalkan adalah “dana (tunjangan profesi,—penulis) sampai sekarang belum cair!.” Elvira menambahkan bahwa rekannya yang telah lulus sertifikasi pada tahun 2006 juga ada yang belum menerima tunjangan profesi.
Kenyataan-kenyataan ini sangat bertentangan dengan apa yang dijanjikan pemerintah. Telah jelas dinyatakan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik akan memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok yang dibayarkan pada bulan Januari tahun berikutnya setelah menerima sertifikat pendidik.[44]