Jumat, 02 Desember 2011

Kencangkan Ikat Pinggang

Berbagai "upaya telah dilakukan untuk "mendapatkan" dan "mengalokasikan" anggaran. Tidak terlalu penting mencari tau bagaimana "mendapatkan" dan "mengalokasikan" serta apa "hasil" dari anggaran itu: bermanfaat atau tidak, memberi dampak pada hidup masyarakat atau tidak. Lupakan hal itu. Penting, tapi bukan prioritas, paling tidak dalam topik kali ini. Yang utama adalah yang terdengar atau terbaca; "program itu telah meringankan beban masyarakat yang menjadi prioritas kita semua" (ini juga dikutip dari beberapa statemen di media). Tidak juga penting mengetahui "meringankan" bagaimana, "beban" bagaimana, "masyarakat" yang mana, dan "kita" itu siapa saja. 

Itulah propaganda.

Propaganda adalah seruan sistematis dalam bentuk doktrin atau informasi untuk mengalihkan dan atau membalikkan pandangan dan kecenderungan dari satu doktrin atau pandangan lain. Propaganda dalam konteks ini, biasanya berhubungan dengan produk, baik barang maupun jasa, yang bisa dituangkan dalam bentuk iklan, sistim kehumasan, dll.

Tapi secara umum, propaganda adalah upaya sistimatis untuk memanipulasi perilaku, keyakinan dan tindakan dari masyarakat melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gerakan anggota badan, slogan, bendera dan seragam. Ide, fakta dan "sandiwara" diluncurkan untuk mendukung atau menentang sesuatu. Faktor yang membedakan antara propaganda dengan informasi adalah terletak pada pemilihan "tema" dan "pemanipulasian"nya.

Sehingga walaupun bentuknya berupa informasi, tapi propaganda itu sendiri penekanannya adalah untuk mempengaruhi opini (dan perilaku) – dan bukan sekedar menginformasikan apa adanya, dari banyak orang (numbers of people).

Dan karena propaganda menyangkut banyak orang, maka media yang paling efektif adalah dengan menggunakan media massa – dalam artian banyak pembaca, pendengar, atau penonton, terlepas medianya adalah media cetak atau media elektronik.

Propaganda mulai dikenal sejak diluncurkannya Congregation for Propagating The Faith (Congregatio de Propaganda Fide) yang diluncurkan oleh Paus Gregory XV pada tahun 1622, yang dibuat untuk mendukung kegiatan dakwah gereja. Istilah ini menemukan puncaknya pada zaman Hitler, ketika Kementrian Propaganda dibentuk dimana "otak"nya yang terkenal adalah Joseph Goebbels – yang duduk sebagai Menteri Propaganda. Ia berhasil mengontol media, film, teather, terbitan dan kesenian, bahkan memiliki Kantor Film Propaganda sendiri. Begitu luarbiasanya memformat sebuah tema, sehingga sering tidak lagi jelas mana propaganda, mana persepsi dan mana fakta. Paul Joseph Goebbels dianggap sebagai pelopor dan pengembang teknik propaganda modern. Teknik jitu hasil kepiawaiannya dikenal dengan nama Argentum ad nausem atau lebih populer dengan istilah big lie (kebohongan besar). Prinsip dari teknik itu adalah menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Ia juga memelopori penggunaan siaran radio sebagai media propaganda massal.

Tapi yang harus digaris bawahi, propaganda lebih berhubungan dengan emosi, dan jauh dari daya tarik intelektual. Propaganda akan menemukan bentuktnya yang sempurna ketika dikemas dengan iklan dan kehumasan. Dalam sejarahnya yang panjang, propaganda disamping telah digunakan untuk tujuan keagamaan seperti dilakukan Gereja Katolik dan Protestan, propaganda kemudian lebih kental digunakan dalam konteks politis, baik oleh pemerintah, partai politik, termasuk untuk tujuan "menyembunyikan" keinginan tersembunyi mereka.  Di sini, propaganda sudah sangat fokus dan spesifik, yaitu membangun persepsi dan memanipulasi pandangan dari banyak orang.

Inilah propaganda yang dimaksudkan oleh Richard Alan Nelson dalam A Chronology and Glossary of Propaganda in the United States (1996) sebagai "rayuan yang dilakukan untuk mempengaruhi emosi, perilaku, pendapat dan tindakan dari target masyarakat tertentu".

Tidak heran bila propaganda sering diidentikkan dengan cuci otak (brainwashing), dan bukan sekedar bujukan (persuasion) atau instruksi (instruction). Popaganda dalam hal ini juga berbeda dari indoktrinasi, karena yang terakhir ini bisa diterapkan tanpa pencucian otak. Istilah cuci otak sendiri merupakan terjemahan dari istilah China: xi nao, yang berarti reformasi pemikiran (thought reform), ketika Partai Komunis berkuasa pada 1949 dan "mendidik ulang" (reeducation) para orang berpendidikan dan kelas menengah. Upaya yang sama juga dilakukan terhadap para tahanan selama Perang Korea.

Propaganda dalam kaitannya dengan cuci otak juga dikenal sebagai minds control – dan inilah yang paling populer, dimana propaganda "hanya" menyampaikan yang baik-baik saja – dengan rutin dan sistematis, dengan menyembunyikan yang buruk-buruk atau bahkan membungkusnya dengan rasionalisasi-rasionalisasi sehingga sebuah kegagalan paling tidak bisa "diterima" dengan gegap gempita.

Tidak salah membuat propaganda. Tapi masalah mulai muncul ketika propaganda dibuat untuk menutupi borok yang kita ciptakan, sehingga tinja akan terlihat seperti emas. Pada zaman orde baru misalnya, ketika kemiskinan begitu mengharu biru, seruan kencangkan ikat pinggang begitu gencar dilakukan. Tapi apa arti kencangkan ikat pinggang bagi yang memang tidak memiliki makanan, seperti mengajak menolak ratusan juta yang memang tidak kita dimiliki.

Propaganda – pada level terburuknya, akan membawa pada "penerimaan keterpurukan" bahkan "penolakan" terhadap kesejahteraan – yang sering kita jadikan domain pengabdian, yang seharusnya menjadi milik kita semua.

Tapi diakui atau tidak, propaganda hanya muncul dari orang-orang yang tidak berdaya, seperti sekumpulan orang lemah sahwat yang mengagungkan hebatnya jamu sehat lelaki, tetapi pada hakekatnya hanyalah sekumpulan orang-orang loyo dan memble.

Dengan menyampaikan apa adanya, pada awal dan akhirnya adalah kita belajar untuk jujur …

Tidak ada komentar: