Minggu, 04 Desember 2011

Senandung Rindu Pahlawan yang Terabaikan


Masih teringat jelas ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), masa dimana angan-angan diterbangkan sedemikan rupa. Setinggi-tingginya! Ketika seorang guru bertanya, siapa yang mau jadi presiden, dokter,astronot, pilot, pengusaha, dan lainnya, hampir semua murid mengangkat tangannya tinggi tinggi, tak jarang ada yang sambil berteriak lantang. Muka lugu, polos, dan kadang ingusan, mungkin terlalu banyak jajan es manis.
Memasuki masa SMP dan SMA, pertanyaan yang sering muncul pun hampir sama, cuma sedikit dimodifikasi, sedikit lebih realistis, anda mau jadi apa? Dokter, pengacara, bangkir dll. Rata-rata jawabannya tidak jauh berbeda dari masa SD, kecuali yang masih kebingungan, cukup menghindar dengan alasan filosofis, jawaban yang tidak mengandung unsur penyesalan dikemudian hari. Semua pekerjaan/ profesi termasuk didalamnya,,, ‘bisa berguna bagi nusa dan bangsa, atau bisa berguna bagi orang lain’.
Hampir tidak pernah ada yang menjawab “saya mau jadi petani/nelayan”. Mungkin karena memang tidak pernah ditanyakan dan tidak dianggap pantas untuk ditanyakan. Ataukah sudah termasuk dalam alasan filosofis tersebut, “bisa berguna bagi orang lain” Kalaupun ada, kedengaran agak ganjil, paling-paling jadi tuan tanah. Persepsi yang diciptakan mengenai petani/nelayan terlalu rendah untuk status sosial, apalagi dijadikan sebuah angan.
Status sosial banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal dan harta, petani/nelayan kebanyakan jauh dari itu. Persepsi terbentuk seolah-olah petani/nelayan adalah pekerjaan rendahan karena tidak harus melalui pendidikan formal dengan embel-embel ijasah dan otak (yang dianggap) brilian. Ketika seorang sarjana pulang kampung bertani, ocehan pun berdatangan, termasuk dari petani itu sendiri, “sekolah tinggi-tinggi kok ujung-ujungnya juga turun kesawah”
Apa jadinya kalau tidak ada petani/nelayan? Perut tidak bisa kompromi, lambung tidak menerima kertas buram, mesin atau persepsi. Yang bisa mendamaikan perut, hanya yang berasal dari tanah dan atau air. Manusia tidak bisa hidup tanpa perut, bahkan perut selalu jadi alasan ampuh untuk menghalalkan segala cara agar bisa terisi. Tapi apakah mereka cukup diperhatikan?
Petani/nelayan yang bermukim di desa atau pinggiran kota, cenderung terabaikan. Baik dari segi pendidikan maupun kesehatan, dan pelayanan-pelayanan lainnya sebagai warga negara yang berkedudukan sama, katanya. Lokasi yang terpencil, sulit terjangkau adalah alasan khas yang sering dilontarkan.Penyuluhan-penyuluhan pertanian perlu ditingkatkan, dan diperbaiki, jangan cuma datang mempromosikan pupuk dan racun yang justru merusak tanah.
Negara masih terlalu sibuk mengurus kota dan ekonomi global, yang memang sulit dihindari, tapi jangan sampai mengaburkan pandangan tentang keseluruhan. Ekonomi di pedesaan harus ikut terbangun, begitu pula pemerataan pendidikan. Petani/nelayan dan anak-anaknya juga butuh pintar untuk meningkatkan produktifitas dan melambungkan angan-angannya setinggi mungkin.
Lalu kenapa bangsa ini tidak memperkuat diri dibidang pertanian dan kelautan saja? Apapun tumbuh di negeri ini dengan kekayaan laut yang melimpah ruah. Tentunya dimulai dengan memperkuat SDM para petani/nelayan..

Tidak ada komentar: